"Kenapa Aku Belum Tahu Mau Jadi Apa?": Mengatasi Kecemasan Quarter-Life Crisis pada Mahasiswa
"KENAPA AKU BELUM TAHU MAU JADI APA?": MENGATASI KECEMASAN QUARTER-LIFE CRISIS PADA MAHASISWA
Oleh: Hashlan Hasbie Yusuf
ABSTRAK
Fase transisi dari masa remaja menuju dewasa awal merupakan periode krusial yang sering kali dibarengi dengan berbagai tantangan, salah satunya adalah fenomena quarter-life crisis (QLC). Artikel ini bertujuan untuk mendefinisikan, mengidentifikasi penyebab, dan memberikan strategi praktis untuk mengatasi QLC pada mahasiswa. Dengan menggunakan rujukan dari penelitian dan skripsi, tulisan ini menguraikan bagaimana tekanan akademik, sosial, dan ekspektasi diri menjadi pemicu utama kecemasan, serta menyajikan solusi berbasis literatur untuk membantu mahasiswa menghadapi fase ini secara adaptif.
Kata Kunci: Quarter-Life Crisis, Mahasiswa, Kecemasan, Pengembangan Diri, Konseling.
- Pengantar: Ketika Hidup Tidak Sesuai Rencana
Banyak dari kita yang memasuki usia 20-an dengan daftar impian yang panjang. Ada yang ingin segera lulus dengan predikat cum laude, ada yang sudah merencanakan karir di perusahaan multinasional, dan tak sedikit yang berharap bisa segera mandiri. Namun, realitas sering kali tidak sejalan dengan ekspektasi. Tiba-tiba, kita merasa terjebak dalam kebingungan, pertanyaan tentang masa depan muncul tanpa henti, dan perasaan cemas mulai menggerogoti. Fenomena inilah yang dikenal sebagai Quarter-Life Crisis (QLC), sebuah krisis emosional yang umum dialami oleh individu dewasa awal, khususnya mahasiswa.
QLC bukanlah sekadar rasa bingung sesaat. Ini adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan perasaan tidak aman, ragu-ragu, dan ketidakpastian yang intens terhadap pilihan hidup (Robbins & Wilner, 2001 dalam Putri, 2024). Bagi mahasiswa, fase ini terasa sangat menekan karena bertepatan dengan masa transisi penting: dari dunia pendidikan ke dunia kerja, dari ketergantungan finansial ke kemandirian, serta dari identitas pelajar ke identitas profesional. Skripsi dan jurnal di Indonesia telah banyak mengupas fenomena ini, menunjukkan betapa relevannya isu ini di kalangan mahasiswa, baik yang berada di tingkat akhir maupun yang baru memulai perkuliahan (Herawati & Hidayat, 2020; Taufiqurrahman, 2024).
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa QLC terjadi, apa saja pemicunya, dan bagaimana mahasiswa dapat menghadapi serta mengubah krisis ini menjadi momentum untuk pertumbuhan diri. Dengan merujuk pada literatur ilmiah, kita akan menemukan bahwa QLC, meskipun terasa berat, bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan penemuan diri yang autentik.
- Memahami Quarter-Life Crisis: Definisi dan Karakteristik
Konsep QLC pertama kali diperkenalkan oleh Robbins dan Wilner pada tahun 2001, menggambarkan periode transisi dari kehidupan kampus ke "dunia nyata" yang sering kali terasa lebih intens di usia 20-an (Putri, 2024). Fase ini umumnya terjadi pada rentang usia 20-30 tahun, dan bagi mahasiswa, intensitasnya sering memuncak di tingkat akhir ketika mereka dihadapkan pada tugas akhir dan prospek karir pasca-kelulusan (Mardiana, 2021).
Berdasarkan penelitian yang ada, karakteristik utama QLC pada mahasiswa dapat diidentifikasi melalui beberapa indikator berikut (Sujudi & Ginting, 2020; Karpika & Segel, 2021):
- Rasa Cemas dan Khawatir Berlebihan: Mahasiswa merasa gelisah tentang masa depan, pekerjaan yang tidak pasti, dan ekspektasi yang harus dipenuhi.
- Kebingungan Identitas: Muncul keraguan terhadap kemampuan diri sendiri, minat, dan tujuan hidup. Pertanyaan seperti "Apa yang sebenarnya aku inginkan?" atau "Apakah aku sudah di jalan yang benar?" sering kali muncul.
- Perasaan Terisolasi: Merasa sendirian dalam kebingungan, seolah-olah hanya diri sendiri yang mengalami kesulitan, sementara teman-teman lain tampak sukses dan bahagia.
- Kecenderungan Membandingkan Diri: Media sosial menjadi pemicu utama. Melihat pencapaian teman atau kenalan di media sosial (misalnya, sudah bekerja di perusahaan ternama atau menikah) dapat memperburuk perasaan tidak mampu.
- Kecenderungan untuk Melarikan Diri: Beberapa mahasiswa mungkin mencoba lari dari masalah dengan bersikap pasif, menunda tugas, atau mencari distraksi yang tidak produktif (Taufiqurrahman, 2024).
- Pemicu Quarter-Life Crisis pada Mahasiswa
Fenomena QLC pada mahasiswa tidak muncul tanpa sebab. Ada beberapa faktor utama yang saling berkaitan dan menjadi pemicu munculnya kecemasan ini.
- Tekanan Akademik dan Beban Tugas Akhir
Bagi mahasiswa tingkat akhir, skripsi atau tugas akhir menjadi beban psikologis yang sangat besar. Penelitian menunjukkan bahwa kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhir dapat menjadi pemicu QLC karena menimbulkan perasaan stres, ragu akan kemampuan diri, dan penurunan motivasi (Mardiana, 2021; Taufiqurrahman, 2024). Tuntutan untuk mendapatkan nilai terbaik dan lulus tepat waktu juga menambah tekanan yang signifikan.
- Ekspektasi Sosial dan Keluarga
Di Indonesia, budaya dan ekspektasi sosial memainkan peran besar. Tuntutan orang tua agar anak segera sukses, mapan, atau bahkan menikah setelah lulus seringkali menjadi beban mental. Skripsi oleh Hanifa Sari (2024) menunjukkan adanya hubungan antara dukungan orang tua dengan QLC yang dialami mahasiswa tingkat akhir, di mana ekspektasi yang tinggi tanpa dukungan yang memadai dapat memperparah krisis. Media sosial juga memperkuat tekanan ini dengan menampilkan citra kehidupan yang sempurna, memicu perbandingan sosial (Alkatiri & Aprianty, 2024).
- Ketidakpastian Karir dan Dunia Kerja
Transisi dari dunia kampus ke dunia kerja sering kali menjadi "jurang" yang menakutkan. Mahasiswa khawatir tentang apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai, apakah gaji yang didapat cukup, dan apakah keterampilan yang dimiliki sudah relevan dengan kebutuhan industri. Kurangnya pengalaman dan kompetensi yang dirasa belum memadai sering menjadi sumber ketidakpercayaan diri dan kecemasan (Taufiqurrahman, 2024; Karpika & Segel, 2021).
- Strategi Praktis untuk Mengatasi Quarter-Life Crisis
Meskipun QLC terasa menakutkan, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Berdasarkan penelitian-penelitian di bidang psikologi, beberapa strategi coping yang efektif dapat diterapkan oleh mahasiswa (Salsabila et al., 2023; Sari, 2024).
- Strategi Problem-Focused Coping
Strategi ini berfokus pada penyelesaian masalah secara langsung. Ini adalah pendekatan proaktif yang melibatkan:
- Mencari Informasi dan Pengetahuan: Jika kecemasan berpusat pada karir, mahasiswa dapat mengambil langkah konkret seperti mengikuti webinar, seminar karir, atau melakukan magang. Dengan memperluas pengetahuan dan pengalaman, rasa tidak pasti dapat berkurang (Salsabila et al., 2023).
- Mengembangkan Keterampilan: Identifikasi keterampilan yang dibutuhkan di bidang yang diminati, lalu ambil kursus online atau sertifikasi. Hal ini tidak hanya menambah kompetensi tetapi juga meningkatkan kepercayaan diri (Afnan, Fauzia, & Tanau, 2020).
- Membuat Rencana Aksi yang Realistis: Alih-alih merasa kewalahan, pecah tujuan besar (misalnya "dapat pekerjaan impian") menjadi langkah-langkah kecil yang bisa dicapai (misalnya "memperbaiki CV minggu ini," "mengikuti satu interview bulan depan").
- Strategi Emotion-Focused Coping
Strategi ini bertujuan untuk mengelola emosi dan respons terhadap situasi yang menekan, terutama ketika masalah tidak bisa diselesaikan dengan segera.
- Mencari Dukungan Sosial: Berbicara dengan orang terdekat—teman, keluarga, atau pasangan—tentang perasaan yang dialami sangat membantu. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial yang baik dapat mengurangi intensitas QLC (Sari, 2024).
- Menerapkan Keterampilan Self-Compassion: Alih-alih menyalahkan diri sendiri, belajarlah untuk bersikap baik pada diri sendiri. Sadari bahwa merasa bingung di usia ini adalah hal yang normal dan wajar.
- Mengelola Kesehatan Mental: Praktikkan mindfulness, olahraga, dan tidur yang cukup. Jika kecemasan sudah terasa sangat mengganggu, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Kampus biasanya menyediakan layanan konseling yang bisa diakses secara gratis.
- Peran Konseling dan Bimbingan Karir
Penelitian menunjukkan bahwa konseling karir di perguruan tinggi memiliki peran signifikan dalam membantu mahasiswa menghadapi QLC (Putri, 2020). Konselor dapat membantu mahasiswa dalam beberapa hal:
- Eksplorasi Diri: Membantu mengidentifikasi minat, nilai, dan kekuatan pribadi.
- Pengambilan Keputusan: Memberikan panduan dalam membuat keputusan karir yang sejalan dengan diri sendiri.
- Pengembangan Strategi: Memberikan alat dan strategi untuk menghadapi kecemasan dan tekanan dari lingkungan.
- Penutup: Mengubah Krisis Menjadi Kesempatan
Quarter-life crisis bukanlah tanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa kita sedang dalam proses bertumbuh dan mencari makna hidup yang lebih dalam. Rasa bingung dan cemas yang muncul adalah bagian alami dari perjalanan transisi menuju kedewasaan. Mahasiswa yang mampu menghadapi QLC dengan strategi coping yang adaptif cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan mampu beradaptasi dengan tantangan di masa depan (Tokan et al., 2021).
Pada akhirnya, kunci untuk melewati fase ini adalah dengan menerima ketidakpastian sebagai bagian dari kehidupan, berhenti membandingkan diri dengan orang lain, dan berani mengambil langkah-langkah kecil untuk mengeksplorasi diri. Ingatlah, bahwa perjalanan ini bukan perlombaan, melainkan proses penemuan diri yang unik. Manfaatkan setiap sumber daya yang ada, termasuk layanan konseling di kampus, untuk memastikan kamu tidak melewati fase ini sendirian.
Daftar Pustaka
Afnan, A., Fauzia, R., & Tanau, M. U. (2020). Hubungan Efikasi Diri Dengan Stres Pada Mahasiswa Yang Berada Dalam Fase Quarter Life Crisis. Jurnal Kognisia, 3(1), 23-29.
Alkatiri, H., & Aprianty, R. A. (2024). Pengaruh intensitas penggunaan media sosial pada quarter life crisis pada dewasa awal. Pubmedia Jurnal Psikologi, 1-7.
Herawati, I., & Hidayat, A. (2020). Quarter-life crisis pada masa dewasa awal di Pekanbaru. An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 5(2), 146-147.
Karpika, I. P., & Segel, N. W. W. (2021). Quarter Life Crisis Terhadap Mahasiswa Studi Kasus di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Mahadewa Indonesia. Widyadari, 22(2), 513-527.
Mardiana, M. (2021). Eksistensi Fenomena Quarter Life Crisis Pada Mahasiswa PAI Semester Akhir UIN Raden Fatah Palembang. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang.
Putri, A. R. (2020). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Quarter Life Crisis Pada Mahasiswa Tingkat Akhir. Skripsi tidak dipublikasikan. UIN Raden Intan Lampung.
Putri, S. A. (2024). Gambaran Quarter Life Crisis pada Mahasiswa Tingkat Akhir. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Medan Area.
Salsabila, F. A., Harsyanthi, F., Mustika, I., Hidayat, W. S. P., & Riany, Y. E. (2023). The Dynamics of Quarter Life Crisis and Coping Strategies for Final Year Undergraduate Students. Journal of Family Sciences, 8(1), 123-135.
Sari, H. (2024). Hubungan Dukungan Orang Tua dengan Quarter Life Crisis Yang Dialami Mahasiswa Tingkat Akhir Di STIKES Hang Tuah Surabaya. Skripsi tidak dipublikasikan. STIKES Hang Tuah Surabaya.
Sujudi, M. A., & Ginting, B. (2020). Quarterlife crisis di masa pandemi covid-19 pada mahasiswa semester akhir Universitas Sumatera Utara. Buddayah: Jurnal Pendidikan Antropologi, 2(2), 105-112.
Taufiqurrahman, M. (2024). Analisa Problematika Quarter Life Crisis pada Mahasiswa Tingkat Akhir: Studi Kasus Mahasiswa BKI FDIK UIN Mataram. Skripsi tidak dipublikasikan. UIN Mataram.
Tokan, M., Sandri, R., & Sera, D. C. (2021). Quarter Life Crisis pada Mahasiswa di Kota Malang Ditinjau dari Kecerdasan Emosi. Jurnal Talenta Mahasiswa, 3(3).