“JEBAKAN DIAWAL!!! 5 Kesalahan Yang Sering Dilakukan Freshgraduate, Jangan Sampai Kamu Melakukan Ini!”

“JEBAKAN DIAWAL!!! 5 KESALAHAN YANG SERING DILAKUKAN FRESHGRADUATE, JANGAN SAMPAI KAMU MELAKUKAN INI!”

 

Memasuki dunia kerja adalah fase baru yang menantang sekaligus mendebarkan bagi setiap lulusan baru. Setelah bertahun-tahun bergelut dengan teori dan tugas kuliah, kini saatnya menghadapi realita dunia profesional yang jauh lebih kompleks. Sayangnya, semangat tinggi yang dimiliki sering kali tidak dibarengi dengan kesiapan mental dan strategi yang tepat. Akibatnya, banyak lulusan baru terjebak dalam kesalahan-kesalahan mendasar yang justru menghambat langkah awal mereka membangun karir. Artikel ini akan mengulas lima kesalahan umum yang kerap dilakukan oleh para fresh graduate dan bagaimana cara menghindarinya agar perjalanan karir bisa dimulai dengan lebih mantap.

  1. Terlalu Memilih Pekerjaan Pertama

Salah satu jebakan paling umum yang dialami oleh lulusan baru adalah terlalu selektif dalam menerima pekerjaan pertama. Banyak dari mereka yang memiliki ekspektasi tinggi setelah lulus—ingin langsung mendapat posisi sesuai jurusan kuliah, gaji tinggi, lokasi kerja strategis, bahkan lingkungan kerja yang "ideal". Akibatnya, tak jarang mereka menolak banyak kesempatan kerja yang datang hanya karena merasa pekerjaan itu "bukan level saya" atau "tidak sesuai passion".

Penyebab Utama:

  1. Ekspektasi yang tidak realistis: Lulusan baru sering terinspirasi dari kisah sukses di media sosial, seperti orang yang langsung bekerja di perusahaan besar atau menjadi entrepreneur muda sukses. Mereka berharap bisa langsung mencapai itu semua, tanpa melalui proses.
  2. Pengaruh lingkungan: Tekanan dari keluarga, teman, atau masyarakat juga ikut membentuk pandangan bahwa bekerja harus sesuai jurusan atau bergengsi.
  3. Kurangnya informasi dunia kerja: Banyak fresh graduate belum memahami dinamika dan proses naik level dalam dunia profesional. Mereka mengira karir harus dimulai dari atas.

Contoh Situasi:

Bayangkan seorang lulusan Ilmu Komunikasi yang menolak tawaran sebagai customer service karena merasa itu terlalu jauh dari bidang “public relations” yang ia impikan. Padahal, dari pekerjaan tersebut ia bisa belajar banyak hal: cara menghadapi klien, menyusun komunikasi yang efektif, hingga mengelola emosi dan tekanan—semua adalah keterampilan penting dalam bidang PR.

Atau seorang lulusan Teknik Informatika yang menolak pekerjaan sebagai IT support karena ingin langsung menjadi software engineer. Padahal, bekerja sebagai IT support bisa memberikan pengalaman teknis, kedisiplinan, dan peluang memahami sistem yang nantinya dibutuhkan ketika melamar posisi yang lebih tinggi.

Dampak dari Sikap Ini:

  1. Menganggur terlalu lama: Karena terlalu banyak menolak peluang, akhirnya fresh graduate melewatkan banyak momentum penting.
  2. Kehilangan pengalaman awal: Padahal, dunia kerja sangat menghargai pengalaman—seberapapun kecilnya. Tanpa pengalaman awal, akan semakin sulit bersaing di lamaran berikutnya.
  3. Penurunan rasa percaya diri: Semakin lama menganggur, seseorang cenderung mulai meragukan kemampuannya sendiri.

Solusi dan Cara Menyikapinya:

  1. Ubah cara pandang: pekerjaan pertama = tempat belajar

Pekerjaan pertama bukan akhir dari segalanya. Justru di situlah proses pembentukan karakter kerja dimulai. Tak semua orang bisa langsung bekerja di tempat ideal, tapi semua orang bisa belajar dari manapun mereka ditempatkan.

  1. Fokus pada skill, bukan hanya jabatan

Jangan hanya melihat titel atau posisi. Cermati peluang apa saja yang bisa kamu dapatkan dari pekerjaan tersebut: apakah kamu bisa belajar software baru? Apakah kamu akan dilatih komunikasi? Apakah kamu bisa naik jabatan dari dalam?

  1. Ingat bahwa karir itu maraton, bukan sprint

Karir bukan perlombaan cepat-cepat sukses. Banyak profesional sukses yang memulai dari bawah: kasir, admin, penjaga toko, bahkan marketing keliling. Tapi karena mereka tekun dan terus berkembang, mereka naik level perlahan dan mantap.


  1. Mengabaikan Soft Skill dan Networking

Saat lulus kuliah, banyak orang percaya bahwa ijazah dan IPK adalah kunci utama menuju dunia kerja. Mereka berpikir bahwa nilai akademik yang tinggi secara otomatis akan membawa mereka ke pekerjaan yang layak dan menjanjikan. Padahal, realitanya tidak sesederhana itu. Di balik angka-angka di transkrip nilai, dunia kerja justru sangat menilai soft skill—kemampuan non-teknis yang mencerminkan kepribadian dan cara seseorang berinteraksi.

Selain itu, banyak lulusan baru juga mengabaikan pentingnya membangun relasi atau networking. Mereka fokus memperbaiki CV dan melamar secara online tanpa pernah berusaha mengenal dunia kerja melalui orang-orang di dalamnya. Ini adalah kesalahan besar yang bisa membuat proses pencarian kerja jauh lebih sulit dan tertutup dari peluang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan.

Apa Itu Soft Skill dan Mengapa Penting?

Soft skill adalah keterampilan yang berkaitan dengan cara kita berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Contohnya meliputi:

  • Komunikasi yang efektif
  • Kerja sama tim
  • Etika kerja
  • Manajemen waktu
  • Kepemimpinan
  • Kecerdasan emosional (empathy, adaptability)

Di mata perekrut, soft skill bahkan bisa lebih menentukan daripada hard skill. Banyak pekerjaan bisa dilatih secara teknis, tapi tidak semua orang bisa bekerja dalam tim, mampu berkomunikasi dengan baik, atau menyelesaikan konflik dengan elegan.

Ilustrasi nyata: Seorang lulusan Teknik Informatika dengan IPK 3.90 melamar pekerjaan sebagai developer, namun gagal saat interview karena tidak bisa menjelaskan pekerjaannya dengan jelas dan sulit bekerja sama dalam simulasi tim. Di sisi lain, kandidat dengan IPK biasa saja tapi komunikatif dan mampu menjawab dengan lugas justru diterima.

Apa Itu Networking dan Mengapa Fresh Graduate Harus Peduli?

Networking adalah aktivitas menjalin dan membangun hubungan dengan orang lain dalam konteks profesional. Ini mencakup:

  • Bertemu dengan alumni atau dosen di luar kelas
  • Mengikuti seminar, pelatihan, dan forum diskusi
  • Membangun profil LinkedIn yang aktif
  • Berpartisipasi dalam komunitas atau organisasi luar kampus

Banyak lowongan pekerjaan tidak dipublikasikan secara terbuka (sering disebut hidden job market), dan hanya diketahui oleh orang-orang di dalam jaringan profesional tertentu. Tanpa koneksi yang baik, kamu bisa melewatkan banyak peluang emas.

Contoh situasi: Seorang alumni kampusmu bekerja di perusahaan multinasional dan membuka lowongan internal. Ia hanya membagikan info tersebut ke grup WhatsApp alumni. Jika kamu tidak menjalin hubungan dengan komunitas tersebut, kamu tidak akan tahu bahwa peluang itu ada.

Penyebab Kesalahan Ini Sering Terjadi:

  1. Kultur akademik yang terlalu fokus pada nilai, bukan keterampilan interpersonal.
  2. Kurangnya pembinaan karir sejak dini, seperti pelatihan wawancara, CV, dan personal branding.
  3. Rasa malu atau minder, sehingga enggan ikut forum, bertanya ke senior, atau memperkenalkan diri ke orang baru.
  4. Meremehkan platform profesional, seperti LinkedIn, dan lebih aktif di media sosial hiburan.

Dampak Mengabaikan Soft Skill dan Networking:

  • Sulit lolos seleksi wawancara, karena tidak bisa membangun komunikasi yang meyakinkan.
  • Kurang terlihat di mata perekrut, meski memiliki CV dan prestasi yang baik.
  • Terjebak dalam pencarian kerja yang lama, karena tidak ada bantuan atau rujukan dari orang dalam.
  • Tidak berkembang secara personal, karena kurang terpapar dengan perspektif baru atau masukan konstruktif dari profesional lain.

Solusi: Bangun Skill dan Jaringan Sejak Dini

  1. Tingkatkan soft skill secara sadar
  • Ikut organisasi kampus atau komunitas relawan.
  • Latih public speaking lewat MC, presentasi, atau lomba debat.
  • Ikut pelatihan keterampilan seperti problem solving atau komunikasi efektif.
  • Lakukan simulasi wawancara dengan teman atau mentor.
  1. Aktif dalam forum profesional
  • Buat profil LinkedIn yang rapi dan profesional.
  • Follow perusahaan atau tokoh inspiratif di bidang yang kamu minati.
  • Ikut webinar, career fair, dan kelas online gratis.
  • Kirim pesan atau email sopan ke alumni atau senior yang sudah bekerja.
  1. Belajar dari lingkungan
  • Dengarkan cerita pengalaman kerja dari orang lain.
  • Jangan malu bertanya dan diskusi.
  • Buka diri terhadap kritik, karena itu jalan terbaik untuk berkembang.


  1. Tidak Tahu Nilai Diri Sendiri

Salah satu tantangan besar yang dihadapi lulusan baru adalah ketidaktahuan tentang nilai diri sendiri di pasar kerja. Banyak yang datang ke wawancara tanpa persiapan yang matang, dan ketika ditanya soal ekspektasi gaji, keterampilan unggulan, atau alasan mengapa mereka cocok untuk posisi yang dilamar, mereka terdiam, bingung, atau menjawab, “Terserah perusahaan aja.”

Hal ini bukan hanya menunjukkan kurangnya persiapan, tapi juga memperlihatkan bahwa mereka belum memahami betul siapa diri mereka, apa kelebihan mereka, dan bagaimana posisi mereka dalam kompetisi kerja yang sesungguhnya. Padahal, kemampuan untuk mengenali dan menyampaikan nilai diri adalah bagian penting dari membangun kepercayaan diri dan meyakinkan perekrut.

Penyebab Umum Lulusan Baru Tak Mengenali Nilai Dirinya:

  1. Tidak pernah melakukan refleksi diri secara serius, hanya fokus lulus cepat.
  2. Tidak terbiasa menjual diri secara profesional, karena dianggap sombong atau berlebihan.
  3. Minimnya pengalaman kerja atau magang, membuat mereka bingung menentukan “harga” diri.
  4. Tidak tahu standar industri, karena kurang melakukan riset gaji dan kompetensi.
  5. Terlalu pasrah, karena takut ditolak dan merasa sebagai “pencari kerja yang tidak punya daya tawar”.

Contoh Situasi:

Bayangkan seorang lulusan Akuntansi yang dipanggil wawancara oleh sebuah perusahaan ritel. Saat ditanya:

“Berapa ekspektasi gaji Anda?”

Ia menjawab, “Saya ikut saja, sesuai kebijakan perusahaan.”

“Kelebihan apa yang bisa Anda tawarkan dibanding kandidat lain?”

Ia menjawab, “Saya belum punya banyak pengalaman, jadi saya akan belajar saja.”

          Perekrut bisa saja menilai kandidat ini tidak percaya diri atau bahkan tidak siap bekerja. Padahal mungkin saja ia pernah magang di bidang keuangan, terbiasa mengelola laporan, atau memiliki kemampuan analisis yang tajam. Sayangnya, semua itu tidak terlihat karena ia tidak tahu bagaimana mengemas nilai dirinya sendiri.

Dampak dari Tidak Tahu Nilai Diri:

  • Gaji yang terlalu rendah dari standar, karena kamu tidak tahu kisaran pasarnya dan tidak berani negosiasi.
  • Kehilangan peluang emas, karena tidak mampu mempresentasikan diri secara meyakinkan.
  • Merasa rendah diri saat melihat kandidat lain, padahal kamu punya potensi yang sama atau lebih baik.
  • Sulit bertahan dalam pekerjaan, karena merasa tidak cocok, tidak dihargai, atau terlalu membebani diri.

Apa yang Dimaksud dengan “Nilai Diri”?

Nilai diri bukan hanya soal angka gaji. Nilai diri mencakup:

  • Keterampilan (skills): Apa kemampuan teknis dan non-teknis yang kamu kuasai?
  • Pengalaman (experience): Magang, organisasi, proyek, volunteer—apa yang sudah kamu lakukan?
  • Etos kerja (work ethic): Apakah kamu disiplin, tekun, mampu bekerja di bawah tekanan?
  • Keunikan personal (unique traits): Apa yang membedakanmu dari kandidat lain?
  • Nilai pasar (market value): Berapa kisaran gaji standar untuk posisi tersebut di wilayah kamu?

Solusi dan Langkah Praktis:

  1. Refleksi dan Identifikasi Diri

Luangkan waktu untuk benar-benar mengenali dirimu:

  • Tulis daftar keterampilan, baik dari perkuliahan, organisasi, maupun kehidupan sehari-hari.
  • Evaluasi pencapaian kecil yang mungkin terlewat, seperti menjadi ketua kelompok, membantu UMKM, atau membuat proyek digital.
  • Kenali cara kamu bekerja—apakah kamu cepat belajar? Teliti? Problem solver?
  1. Bangun Personal Branding

Belajar memperkenalkan diri secara profesional:

  • Buat summary di CV atau LinkedIn yang menjelaskan siapa kamu dan bidang apa yang kamu minati.
  • Latih elevator pitch: bagaimana menjelaskan dirimu dalam 30 detik saat wawancara atau networking.

Contoh:

“Saya lulusan Komunikasi dengan pengalaman organisasi dan magang di media lokal. Saya memiliki keahlian dalam membuat konten, public speaking, dan terbiasa bekerja dalam tim yang dinamis. Saya percaya bisa memberikan kontribusi nyata di bidang digital marketing.”


3. Riset Pasar Kerja dan Gaji

  • Gunakan situs seperti Glassdoor, Indeed, JobStreet, atau forum alumni untuk melihat kisaran gaji posisi yang kamu lamar.
  • Cek lowongan serupa dan bandingkan persyaratannya dengan profilmu.
  • Jangan takut menyebutkan angka gaji saat ditanya—beri rentang berdasarkan hasil riset.

Contoh:

“Berdasarkan riset saya, untuk posisi ini kisaran gajinya antara 3,5 – 4,5 juta rupiah untuk entry level di wilayah Cirebon. Saya merasa cocok berada di kisaran itu, namun tetap terbuka untuk diskusi lebih lanjut.”

4. Berlatih Wawancara dan Tanya Jawab

  • Latihan menjawab pertanyaan seperti:
    • “Apa kelebihan dan kekurangan Anda?”
    • “Kenapa kami harus menerima Anda?”
    • “Apa yang ingin Anda capai dalam 2 tahun ke depan?”

Latihan ini akan membuatmu terbiasa menyampaikan nilai diri secara jelas dan percaya diri.

D. Takut Gagal dan Enggan Mencoba

Salah satu jebakan psikologis paling besar bagi lulusan baru saat memasuki dunia kerja adalah rasa takut gagal. Tak jarang, ketakutan ini tumbuh begitu besar hingga menyebabkan mereka menunda melamar pekerjaan, menghindari tantangan, bahkan memutuskan untuk tidak mencoba sama sekali.

Alih-alih mengumpulkan pengalaman, memperluas wawasan, dan membangun portofolio, mereka justru terjebak dalam kebingungan dan penundaan. Ujungnya, waktu berjalan, rasa percaya diri menurun, dan peluang karier pun berlalu begitu saja.


Mengapa Banyak Lulusan Baru Takut Gagal?

  1. Tekanan sosial dan ekspektasi lingkungan:
    Banyak lulusan baru merasa harus "langsung sukses" setelah lulus kuliah. Tak ingin terlihat "gagal", mereka jadi menunda mencoba karena takut dipandang rendah.
  2. Belum terbiasa menghadapi kegagalan:
    Selama di bangku kuliah, banyak yang hanya menghadapi ujian terstruktur. Saat menghadapi kenyataan seperti lamaran ditolak atau wawancara gagal, mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa.
  3. Perfeksionisme:
    Keinginan untuk tampil sempurna seringkali justru menjadi penghalang. Mereka menunggu waktu yang “tepat” hingga merasa “benar-benar siap”, padahal kesiapan sejati hanya datang setelah mencoba.
  4. Minimnya pengalaman praktik:
    Lulusan yang belum pernah magang, kerja paruh waktu, atau terlibat proyek di luar kuliah, cenderung merasa "tidak punya cukup bekal". Hal ini membuat mereka takut dinilai tidak layak.

Contoh Situasi Nyata:

Seorang lulusan Sastra Inggris yang ingin bekerja sebagai copywriter melihat sebuah lowongan di agensi lokal. Namun ia mengurungkan niat untuk melamar karena merasa portofolionya belum cukup kuat. Ia berpikir, “Pasti ditolak, buat apa coba-coba?”

Beberapa minggu kemudian, posisi itu ditutup, dan ia hanya bisa menyesal karena tidak pernah tahu apakah dirinya sebenarnya memiliki peluang.

Di sisi lain, ada kandidat lain dengan kemampuan setara, yang tetap mencoba meski merasa belum sempurna. Ia menulis surat lamaran dengan jujur, menunjukkan semangat belajar, dan akhirnya diterima karena dianggap memiliki potensi.


Dampak Negatif dari Takut Gagal dan Tidak Mencoba:

  • Stagnasi karier: Waktu berjalan, namun tidak ada kemajuan karena kamu tidak mengambil langkah nyata.
  • Menurunnya rasa percaya diri: Semakin lama kamu menunda, semakin besar rasa tidak mampu yang tumbuh.
  • Kehilangan peluang: Dunia kerja sangat dinamis. Jika kamu tidak bergerak, posisi yang cocok akan diambil orang lain.
  • Penyesalan di kemudian hari: Karena menyadari bahwa kegagalan bukanlah hal yang seburuk itu, dan kesempatan tidak datang dua kali.

Fakta Penting: Kegagalan Itu Biasa, dan Justru Membentukmu

Di dunia kerja, kegagalan bukan akhir—melainkan bagian dari proses. Hampir semua profesional sukses pernah gagal, ditolak, bahkan diremehkan di awal karier mereka. Namun yang membuat mereka berbeda adalah keberanian untuk tetap melangkah.

J.K. Rowling pernah ditolak oleh 12 penerbit sebelum Harry Potter diterbitkan.
Walt Disney pernah dipecat karena dianggap “kurang imajinatif”.
Banyak tokoh besar memulai dari kegagalan, bukan kesempurnaan.


Strategi Mengatasi Rasa Takut Gagal dan Mulai Mencoba:

1. Ubah Cara Pandang Terhadap Gagal

Jangan lihat kegagalan sebagai musibah. Lihatlah sebagai feedback dan latihan.
Setiap penolakan melatih mental. Setiap kegagalan mengajari kamu cara menjadi lebih baik.

2. Mulai dari Hal Kecil

Kalau takut melamar kerja formal, mulai dari:

  • Freelance
  • Proyek volunteer
  • Magang
  • Melamar di perusahaan lokal

Kuncinya adalah membangun momentum.

3. Tetapkan Target Harian atau Mingguan

Jangan menunggu mood atau kesiapan. Tetapkan target sederhana:

  • Hari ini kirim 2 lamaran.
  • Minggu ini buat ulang CV.
  • Bulan ini ikut 1 job fair online.

Dengan disiplin kecil, kamu menciptakan kebiasaan positif yang membangun kepercayaan diri.

4. Bangun Support System

Temukan teman seperjuangan, mentor, atau komunitas yang saling menyemangati. Kamu tidak sendiri. Banyak fresh graduate lain juga sedang belajar dan berjuang.

5. Evaluasi, Jangan Menyalahkan Diri

Setiap kali gagal, tanya: “Apa yang bisa saya perbaiki?”
Bukan: “Saya memang tidak layak.”
Evaluasi akan membantumu berkembang, bukan membuatmu menyerah.


Contoh Afirmasi Positif yang Bisa Kamu Ucapkan:

  • “Ditolak bukan berarti saya buruk, hanya belum cocok.”
  • “Saya berhak belajar dari pengalaman.”
  • “Setiap langkah kecil mendekatkan saya ke tujuan.”
  • “Saya tidak harus sempurna untuk memulai.”

E. Tidak Memperluas Jaringan (Networking)

Salah satu kesalahan paling sering namun sering dianggap sepele oleh lulusan baru adalah mengabaikan pentingnya membangun dan memperluas jaringan atau networking. Banyak yang beranggapan bahwa kecukupan IPK dan keterampilan teknis (hard skill) sudah cukup untuk menembus dunia kerja. Padahal, dalam praktiknya, koneksi sosial dan profesional memegang peran besar dalam membuka peluang karier yang lebih luas.

Mengapa networking itu penting?
Dalam banyak kasus, informasi lowongan pekerjaan, program pelatihan, bahkan peluang magang atau proyek freelance seringkali tidak diumumkan secara luas, melainkan menyebar lewat jalur internal atau rekomendasi. Di sinilah pentingnya jaringan. Semakin luas jaringan yang dimiliki, semakin besar pula kemungkinan untuk mengetahui dan memperoleh peluang tersebut lebih awal.

Kesalahan yang dilakukan lulusan baru:
Lulusan baru sering terlalu fokus pada pencarian kerja secara daring saja—seperti mengirim lamaran via job portal—tanpa memanfaatkan relasi yang mungkin sudah mereka miliki, seperti dosen, alumni, teman kuliah, atau kenalan di dunia profesional. Ada juga yang merasa sungkan atau tidak percaya diri untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang baru, padahal itu bagian penting dari proses adaptasi di dunia kerja.

Langkah strategis untuk memperluas networking:

  • Hadiri acara profesional: Seperti seminar, workshop, job fair, webinar, atau pelatihan. Ini adalah tempat yang tepat untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang industri.
  • Aktif di media sosial profesional: Platform seperti LinkedIn dapat menjadi ‘ladang emas’ untuk membangun relasi dan menunjukkan profil profesional kita.
  • Gabung komunitas atau organisasi: Baik organisasi kemahasiswaan, komunitas hobi, maupun organisasi profesional, semua bisa membuka peluang bertemu orang baru dan bertukar wawasan.
  • Bangun hubungan yang tulus: Networking bukan sekadar mengenal orang demi keuntungan pribadi, tapi membangun hubungan saling mendukung, membantu, dan tumbuh bersama.

Memulai karir memang bukan perkara mudah, apalagi jika terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari sejak awal. Namun jangan khawatir, setiap kesalahan adalah peluang untuk belajar dan tumbuh. Kuncinya adalah tetap terbuka terhadap masukan, terus mengasah keterampilan, dan tidak takut untuk memulai dari bawah. Untuk memperkaya wawasan dan kesiapan mental, kamu bisa membaca buku “30 Paspor di Kelas Sang Profesor” karya Jamil Azzaini, yang memuat banyak kisah nyata tentang perjuangan dan nilai-nilai hidup yang dibutuhkan dalam merintis karir. Kisah hidup tokoh inspiratif seperti Najwa Shihab juga layak menjadi cermin: ia memulai karirnya dari bawah sebagai jurnalis lapangan, jatuh bangun menghadapi tantangan dunia media, hingga akhirnya menjadi salah satu jurnalis dan komunikator publik paling berpengaruh di Indonesia. Ingat, membangun karir bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling siap dan konsisten untuk terus belajar dan berkembang.




Kesimpulan

Memulai karir bukan hanya tentang mencari pekerjaan, tetapi juga membentuk pondasi untuk masa depan profesional. Lima kesalahan umum yang sering dilakukan oleh lulusan baru—mulai dari tidak memiliki rencana karir, meremehkan pengalaman kerja kecil, pasif dalam networking, mengabaikan soft skill, hingga terlalu memilih pekerjaan—merupakan jebakan awal yang dapat menghambat laju perkembangan karir mereka.

Mengenali dan menghindari kesalahan-kesalahan ini adalah langkah awal menuju karir yang sukses dan berkelanjutan. Setiap langkah kecil, termasuk pengalaman magang, relasi, dan kemampuan komunikasi, akan memberikan dampak besar dalam jangka panjang. Dunia kerja membutuhkan lulusan yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh, fleksibel, dan penuh inisiatif.


Kata Penutup

Sebagai penutup, perlu diingat bahwa perjalanan karir setiap orang tidak selalu mulus. Namun, dengan kesiapan mental, perencanaan yang matang, dan semangat belajar yang tinggi, setiap tantangan bisa menjadi batu loncatan menuju kesuksesan.

Sebagai inspirasi, kisah Najwa Shihab dapat menjadi cermin bagi para lulusan baru. Ia memulai karir sebagai jurnalis muda di Metro TV dan terus membangun reputasinya dengan integritas dan kerja keras, hingga dikenal sebagai salah satu figur publik paling berpengaruh di Indonesia. Perjalanannya menunjukkan bahwa konsistensi, kemampuan berkomunikasi yang baik, dan keberanian mengambil langkah awal sangat berperan dalam membentuk masa depan.

Bagi kamu yang ingin memperkuat pemahaman tentang dunia kerja dan pengembangan diri, buku "Start With Why" karya Simon Sinek layak dibaca. Meski penulisnya bukan dari Indonesia, buku ini sangat relevan untuk menggali motivasi dan membentuk arah karir yang bermakna.

Ingatlah: tidak ada perjalanan karir yang instan. Yang ada adalah proses yang harus dijalani dengan sadar, sabar, dan terus belajar.


Penulis: Hashlan Hasbie Yusuf

Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial