Fenomena 'Fomo' Di Kalangan Mahasiswa: Antara Ikut Tren Dan Jati Diri
FENOMENA 'FOMO' DI KALANGAN MAHASISWA: ANTARA IKUT TREN DAN JATI DIRI
Sumber 1 rspp.co.id
Oleh: Hashlan Hasbie Yusuf
Pendahuluan
Pernahkah Anda membuka media sosial dan merasa gelisah saat melihat foto-foto teman yang sedang mengikuti rapat organisasi, menjadi panitia acara besar, atau bahkan sekadar nongkrong di kafe kekinian? Seolah-olah ada sebuah pesta seru yang sedang berlangsung, tetapi Anda tidak diundang. Perasaan itulah yang dikenal sebagai Fear of Missing Out atau disingkat FOMO (Przybylski, Murayama, DeHaan, & Gladwell, 2013). Istilah ini merujuk pada kecemasan yang muncul ketika kita merasa orang lain sedang mengalami pengalaman yang menyenangkan atau memuaskan, dan kita tidak menjadi bagian dari itu.
Sumber 2 tgrcampaign.com
Di era digital ini, FOMO bukan lagi sekadar perasaan cemas biasa, melainkan sebuah fenomena yang merajalela, terutama di kalangan mahasiswa. Masa kuliah, yang seharusnya menjadi ajang eksplorasi dan pembentukan diri, kini sering kali diwarnai oleh tekanan untuk selalu "ada", "terlibat", dan "berprestasi" di berbagai bidang. Tekanan ini seakan menjadi standar tak tertulis yang diukur dari seberapa penuh jadwal dan seberapa menarik feed media sosial. Media sosial menjadi pemicu utamanya, menampilkan potongan-potongan kehidupan orang lain yang tampak sempurna dan penuh kesibukan, padahal sering kali tidak merefleksikan kenyataan seutuhnya (Baker, 2015). Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana FOMO memengaruhi setiap aspek kehidupan mahasiswa, mulai dari pilihan kegiatan hingga kesehatan mental. Kita akan melihat bagaimana fenomena ini bisa menjebak mahasiswa dalam siklus ikut-ikutan tren yang justru membuat mereka kehilangan arah dan kesulitan menemukan jati diri yang sebenarnya.
FOMO dalam Kehidupan Kampus: Manifestasi di Balik Layar
Sumber 3 health.clevelandclinic.org
Fenomena FOMO merayap masuk ke setiap sudut kehidupan mahasiswa, sering kali tanpa disadari. Gejala yang paling kentara adalah kecenderungan untuk mengikuti setiap kegiatan atau kesempatan yang muncul, seolah-olah melewatkan satu saja akan membuat mereka "tidak berharga". Mahasiswa terjebak dalam pusaran mendaftar ke berbagai organisasi, kepanitiaan, atau komunitas hanya karena melihat teman-temannya juga melakukannya. Mereka merasa wajib memiliki daftar panjang pengalaman di CV, tanpa benar-benar bertanya pada diri sendiri apakah kegiatan itu sejalan dengan minat atau tujuan mereka.
Contohnya, seorang mahasiswa mungkin mendaftar menjadi relawan di sebuah acara besar hanya karena melihat teman-temannya memposting seragam panitia yang keren di Instagram, berharap mendapatkan pengakuan sosial dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang "besar". Atau, seorang mahasiswa lain mengambil peran di beberapa kepanitiaan yang tidak saling berhubungan, bukan karena tertarik, melainkan karena takut "ketinggalan" pengalaman dan khawatir tidak memiliki cerita untuk diceritakan saat kumpul bersama.
Selain itu, media sosial memainkan peran besar sebagai pemicu utama. Beranda Instagram atau Twitter dipenuhi unggahan foto teman-teman yang sedang rapat, mengadakan acara besar, atau bahkan hanya sekadar nongkrong di kafe hit. Apa yang ditampilkan adalah versi kehidupan yang sudah diedit dan disempurnakan—sebuah highlight pencapaian, bukan prosesnya (Przybylski, Murayama, DeHaan, & Gladwell, 2013). Hal ini menciptakan ilusi bahwa semua orang memiliki kehidupan yang jauh lebih sibuk, produktif, dan menyenangkan, sementara kita merasa tertinggal. Perasaan ini mendorong mahasiswa untuk membuat keputusan yang didasari oleh kecemasan, bukan dari keinginan yang tulus.
Dampak Negatif dan Tantangan yang Dihadapi: Ketika Mengejar Tren Menggerus Jati Diri
Ketika FOMO menguasai pikiran mahasiswa, dampak negatifnya tidak hanya sebatas perasaan gelisah. Fenomena ini bisa berujung pada masalah yang lebih serius. Salah satu tantangan terbesarnya adalah kehilangan fokus. Mahasiswa yang sibuk mengejar setiap kesempatan yang ada sering kali tidak memiliki waktu atau energi yang cukup untuk mendalami satu bidang. Alih-alih menjadi ahli di satu hal, mereka justru menjadi "jack of all trades, master of none." Akibatnya, kualitas tugas kuliah menurun, waktu belajar tergerus, dan tujuan akademik utama menjadi terabaikan. Mereka sibuk mengurus kepanitiaan dari pagi hingga malam, namun terlambat menyadari bahwa nilai mata kuliah mereka merosot drastis.
Sumber 4 www.studysmarter.co.uk
Selain itu, FOMO adalah jalan pintas menuju kecemasan dan stres. Tekanan untuk selalu tampil sempurna dan tidak ketinggalan tren bisa memicu perasaan tidak aman. Mahasiswa merasa harus terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain, yang pada akhirnya merusak kesehatan mental. Mereka menjadi lebih mudah lelah secara fisik dan mental, yang sering kali berujung pada burnout (Burnell, 2018). Kondisi ini ditandai dengan kelelahan emosional, kurangnya motivasi, dan perasaan sinis terhadap kegiatan yang seharusnya menyenangkan. Akumulasi dari rasa cemas dan kelelahan ini bisa memicu masalah tidur, penurunan konsentrasi, dan bahkan depresi.
Namun, tantangan terbesar dari FOMO adalah menghambat proses penemuan jati diri. Masa kuliah seharusnya menjadi waktu untuk bereksperimen, menggali minat, dan memahami apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup. Sayangnya, karena terlalu sibuk mengikuti apa yang dilakukan orang lain, mahasiswa cenderung mengabaikan suara hati mereka sendiri. Mereka mengikuti tren bukan karena panggilan jiwa, melainkan karena takut merasa "beda" atau tidak diakui oleh lingkungan sosial. Hal ini membuat identitas mereka menjadi rapuh dan mudah goyah, sering kali merasa kosong dan tidak memiliki tujuan yang jelas di balik semua kesibukan.
Mencari Solusi: Menemukan Jati Diri di Tengah Tren
Menghadapi fenomena FOMO memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak ada jalan keluarnya. Kunci utamanya adalah menggeser fokus dari apa yang dilakukan orang lain menjadi apa yang kita butuhkan. Langkah pertama adalah membangun kesadaran diri. Cobalah luangkan waktu sejenak setiap hari untuk merenung. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah kegiatan yang saya ikuti ini benar-benar membuat saya bahagia dan berkembang? Atau hanya untuk pamer di media sosial?" Menulis jurnal bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk melacak perasaan dan motivasi Anda, membantu Anda membedakan antara keinginan tulus dan tekanan sosial.
Sumber 5 mind.help
Solusi praktis lainnya adalah membatasi penggunaan media sosial. Pemicu utama FOMO adalah banjir informasi dari media sosial yang sering kali tidak realistis. Anda tidak perlu menghapus akun, tetapi bisa mulai dengan membatasi waktu layar, mematikan notifikasi, atau bahkan unfollow akun-akun yang secara konsisten memicu perasaan iri atau cemas. Dengan lebih sedikit distraksi, Anda akan memiliki lebih banyak ruang untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting (Soto, 2021). Cara ini juga membantu Anda untuk lebih menghargai momen di dunia nyata.
Terakhir, dan yang paling penting, adalah berani menentukan prioritas. Buatlah daftar hal-hal yang menjadi tujuan utama Anda, baik itu dalam akademik, pengembangan diri, maupun kehidupan sosial. Belajarlah untuk berkata "tidak" pada tawaran atau ajakan yang tidak sejalan dengan prioritas Anda. Tidak semua acara harus didatangi, tidak semua organisasi harus diikuti. Dengan memilih secara bijak, Anda tidak hanya menghemat energi, tetapi juga memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mendalami hal-hal yang memang Anda sukai dan menemukan jati diri Anda yang otentik.
Penutup
Pada akhirnya, FOMO bukanlah sekadar fenomena remeh temeh. Ia adalah cerminan dari tekanan sosial yang kuat dan kecemasan akan validasi diri di tengah arus digital yang tak pernah berhenti. Melalui pembahasan ini, kita menyadari bahwa mahasiswa sering kali terjebak dalam siklus ikut-ikutan tren yang menguras energi dan mengaburkan tujuan hidup mereka yang sebenarnya. Rasa takut ketinggalan tidak hanya membuat kita sibuk, tetapi juga bisa menjauhkan kita dari kesempatan untuk benar-benar mengenal diri sendiri.
Maka dari itu, perjalanan mahasiswa bukan hanya tentang mengumpulkan IPK atau daftar kegiatan di CV. Ia adalah tentang keberanian untuk mendengarkan diri sendiri, fokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna, dan menerima bahwa tidak apa-apa untuk tidak selalu "ada" di setiap acara. Dengan membangun kesadaran diri dan berani memprioritaskan, mahasiswa dapat menemukan jalan mereka sendiri di tengah lautan tren. Ingatlah, perjalanan menuju jati diri adalah tentang kualitas, bukan kuantitas. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah apa yang orang lain lakukan, melainkan apa yang membuatmu bahagia dan utuh sebagai dirimu sendiri.
Sumber 6 aiesec.or.id
Daftar Pustaka
Baker, K. D., Krieger, H. D., & LeRoy, B. S. (2016). The young and the restless: Socializing trumps sleep, fear of missing out, and technological distractions in first-year college students. International Journal of
Adolescence and Youth, 22(1), 1-13.
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers
in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.
Wibowo, A. B., & Setyawan, A. D. (2022). Hubungan Antara Fear of Missing Out (FOMO) dengan Tingkat Stres pada Mahasiswa di Era Pandemi COVID-19. Jurnal
Psikologi, 15(1), 1-11.